Pemakaian bahan alam terutama yang berasal dari bahan tanaman untuk tujuan pencegahan dan pengobatan penyakit telah lama dikenal. Bahan alam ini dikenal dengan obat tradisional karena prinsip pemakaiannya masih secara tradisional. Pemakaiannya lebih berdasarkan pengalaman, baik pengalaman sendiri, pengalaman orang lain maupun pengalaman pemakai Tanaman Obat Indonesia sebelumnya.
Dalam tradisi masyarakat kita pemakaian bahan-bahan yang berasal dari alam untuk tujuan pengobatan, pemilihan tanamannya didasarkan pada pengamatan panca indra, antara lain warna (kuning, biru, putih pada bunga), bau atau aroma (minyak atsiri), termasuk dalam familia zingiberaceae, piperaceae, umbelliferae. Ketiga familia tersebut jelas warna bunganya, aromanya, umbinya dan mudah ditanam.
Di negara berkembang seperti Indonesia, meskipun pelayanan kesehatan dan kedokteran didasarkanpada sistem kedokteran modern tetapi pemakaian obat tradisional masih luas dimasyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa pemakaian obat tradisional oleh masyarakat, 49% untuk tujuan pencegahan (preventif), 22,5% untuk upaya kuratif, sedangkan selebihnya untuk maksud lain misalnya keluarga Berencana, kecantikan dll. (Depkes,1984).
Potensi obat tradisional terutama tumbuh-tumbuhan di Indonesia cukup besar, maka disadari perlunya pengembangan obat tradisional untuk menunjang kemandirian pengadaan obat yang sangat diperlukan dalam upaya pemerataan pelayanan kesehatan. Umumnya khasiat obat tradisional sampai saat ini hanya didasarkan pengalaman atau empiris saja, maka diperlukan pendekatan ilmiah untuk membawa obat tradisional ke dalam praktek kedokteran dan pelayanan kesehatan formal. Untuk itu pemerintah mengambil langkah-langkah dalam pengembangan obat tradisional yang meliputi :
• Penilaian dan pengujian khasiat obat tradisional secara ilmiah
• Penelitian dan pengembangan obat tradisional
• Pembudidayaan dan pelestarian sumber bahan obat alam.
Salah satu syarat agar suatu calon obat dapat dipakai dalam praktek kedokteran dan pelayanan kesehatan formal (fitofarmaka) adalah jika bahan baku tersebut terbukti aman dan memberikan manfaat klinik. Untuk membuktikan keamanan dan manfaat ini, maka telah dikembangkan perangkat pengujian secara ilmiah yang mencakup pengujian farmakologi (pembuktian efek atau pengaruh obat), Toksikologi (pembuktian syarat keamanan obat secara formal), dan pengujian klinik (manfaat pencegahan dan penyembuhan penyakit atau gejala penyakit).
Pengujian bahan obat dimaksud agar obat-obat yang dipakai dalam praktek klinik pada manusia dapat dipertanggung jawabkan khasiat, manfaat, serta keamanannya secara ilmiah.
Dalam upaya membuktikan adanya manfaat klinik, khasiat dan keamanan obat yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka suatu kerangka tahap-tahap pengembangan dan pengujian obat bahan alam telah ditetapkan oleh Depkes (1985) yang terdiri dari :
1.Tahap seleksi
Proses pemilihan jenis-jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan prioritas, yang meliputi:
• Jenis obat tradisional yang diharapkan bermanfaat untuk penyakit-penyakit utama.
• Jenis obat tradisional yang diperkirakan akan memberi khasiat dan manfaat berdasarkan pengalaman pemakaian empiris sebelumnya.
• Jenis obat tradisional yang diperkirakan dapat menjadi alternatif pengobatan untuk penyakit-penyakit yang belum ada atau belum jelas pengobatannya.
2. Tahap Penyaringan Biologi (Biological Screening)
Tahap ini bertujuan untuk menyaring :
• Adanya tindak efek farmakologi calon obat yang mengarah kekhasiatan terapetik. Pengujian dilakukan dengan model penyakit dan dibuat pada hewan percobaan.
• Penyaring efek keracunan (toksisitas) akut, yaitu ada tidaknya efek akut pada hewan uji sesudah pengujian dosis tunggal, spektrum toksisitasnya jika ada, dan sistem organ vital mana yang paling peka terhadap efek racun tersebut.
3. Tahap Penelitian Faramakodinamik
Tahap ini bertujuan untuk melihat pengaruh calon obat terhadap masing-masing sistem organ tubuh. Penelitian ini dikerjakan pada hewan uji secara invitro (organ terpisah ) maaupun in vivo (keseluruhan sistem tubuh). Penelitian ini tidak disyaratkan mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk mengetahui mekanisme kerja yang lebih rinci dari calon obat dan dapat dilakukan kemudian.
4.Tahap Toksisitas Lebih Lanjut
Pengujian ini untuk mengetahui efek toksit pada hewan setelah pemberian berulang (toksisitas sub akut dan kronik). Dalam tahap ini juga dikerjakan beberapa uji toksisitas khusus jika diperlukan yaitu teratogenitas, karsinogenesis atau tolisistas terhadap fungsi reproduksi dan fertilitas.
5.Tahap Pengembangan Sediaan (Formulasi)
Dalam tahap ini dikembangan bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu, keamanan dan estetika untuk pemakaian pada manusia.
6.Tahap Pengujian Klinik pada Manusia
Pengujian klinik pada manusia baru dapat dilakukan jika syarat keamanan diperoleh dari pengujian toksisitas pada hewan serta syarat mutu sediaan memungkinkan untuk pemakaian pada manusia. Pengujian klinik calon obat pada manusia terbagi dalam beberapa fase yaitu :
Fase I :
Dilakukan pada sukarela sehat untuk melihat efek farmakologi, sifat farmakokinetik, serta hubungan dosis dan efek obat.
Fase II :
Dilakukan pada kelompok pasien secara terbatas untuk melihat kemungkinan penyembuhan dan pencegahan penyakit. Fase ini rancangan penelitian masih dilakukan tanpa kelompok pembanding (kontrol), sehingga belum ada kepastian bukti manfaat terapetik.
Fase III :
Dilakukan pada pasien dengan rancangan uji klinik yan gmemadai, memakai kontrol sehingga didapat kepastian ada tidaknya manfaat terapetik.
Fase IV :
Pemantauan pasca pemasaran untuk melihat kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak terkendali pada waktu pengujian pra klinik atauklinik fase 1 , 2 , 3.
Proses pengujian di atas memakan waktu (sekitar 3 – 4 tahun) dan memerlukan banyak biaya, energi, serta keahlian, maka untuk pengujian calon obat dimungkinkan apabila uji toksikologi (akut atau kronik) telah dinyatakan aman pada manusia., langsung dilakukan uji klinik. Hal ini dengan pengertian bahwa yang diperlukan adalah bukti kemanfaatan untuk bahan-bahan yang memang sudah dipakai secara empiris.
Dalam tradisi masyarakat kita pemakaian bahan-bahan yang berasal dari alam untuk tujuan pengobatan, pemilihan tanamannya didasarkan pada pengamatan panca indra, antara lain warna (kuning, biru, putih pada bunga), bau atau aroma (minyak atsiri), termasuk dalam familia zingiberaceae, piperaceae, umbelliferae. Ketiga familia tersebut jelas warna bunganya, aromanya, umbinya dan mudah ditanam.
Di negara berkembang seperti Indonesia, meskipun pelayanan kesehatan dan kedokteran didasarkanpada sistem kedokteran modern tetapi pemakaian obat tradisional masih luas dimasyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa pemakaian obat tradisional oleh masyarakat, 49% untuk tujuan pencegahan (preventif), 22,5% untuk upaya kuratif, sedangkan selebihnya untuk maksud lain misalnya keluarga Berencana, kecantikan dll. (Depkes,1984).
Potensi obat tradisional terutama tumbuh-tumbuhan di Indonesia cukup besar, maka disadari perlunya pengembangan obat tradisional untuk menunjang kemandirian pengadaan obat yang sangat diperlukan dalam upaya pemerataan pelayanan kesehatan. Umumnya khasiat obat tradisional sampai saat ini hanya didasarkan pengalaman atau empiris saja, maka diperlukan pendekatan ilmiah untuk membawa obat tradisional ke dalam praktek kedokteran dan pelayanan kesehatan formal. Untuk itu pemerintah mengambil langkah-langkah dalam pengembangan obat tradisional yang meliputi :
• Penilaian dan pengujian khasiat obat tradisional secara ilmiah
• Penelitian dan pengembangan obat tradisional
• Pembudidayaan dan pelestarian sumber bahan obat alam.
Salah satu syarat agar suatu calon obat dapat dipakai dalam praktek kedokteran dan pelayanan kesehatan formal (fitofarmaka) adalah jika bahan baku tersebut terbukti aman dan memberikan manfaat klinik. Untuk membuktikan keamanan dan manfaat ini, maka telah dikembangkan perangkat pengujian secara ilmiah yang mencakup pengujian farmakologi (pembuktian efek atau pengaruh obat), Toksikologi (pembuktian syarat keamanan obat secara formal), dan pengujian klinik (manfaat pencegahan dan penyembuhan penyakit atau gejala penyakit).
Pengujian bahan obat dimaksud agar obat-obat yang dipakai dalam praktek klinik pada manusia dapat dipertanggung jawabkan khasiat, manfaat, serta keamanannya secara ilmiah.
Dalam upaya membuktikan adanya manfaat klinik, khasiat dan keamanan obat yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka suatu kerangka tahap-tahap pengembangan dan pengujian obat bahan alam telah ditetapkan oleh Depkes (1985) yang terdiri dari :
1.Tahap seleksi
Proses pemilihan jenis-jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan prioritas, yang meliputi:
• Jenis obat tradisional yang diharapkan bermanfaat untuk penyakit-penyakit utama.
• Jenis obat tradisional yang diperkirakan akan memberi khasiat dan manfaat berdasarkan pengalaman pemakaian empiris sebelumnya.
• Jenis obat tradisional yang diperkirakan dapat menjadi alternatif pengobatan untuk penyakit-penyakit yang belum ada atau belum jelas pengobatannya.
2. Tahap Penyaringan Biologi (Biological Screening)
Tahap ini bertujuan untuk menyaring :
• Adanya tindak efek farmakologi calon obat yang mengarah kekhasiatan terapetik. Pengujian dilakukan dengan model penyakit dan dibuat pada hewan percobaan.
• Penyaring efek keracunan (toksisitas) akut, yaitu ada tidaknya efek akut pada hewan uji sesudah pengujian dosis tunggal, spektrum toksisitasnya jika ada, dan sistem organ vital mana yang paling peka terhadap efek racun tersebut.
3. Tahap Penelitian Faramakodinamik
Tahap ini bertujuan untuk melihat pengaruh calon obat terhadap masing-masing sistem organ tubuh. Penelitian ini dikerjakan pada hewan uji secara invitro (organ terpisah ) maaupun in vivo (keseluruhan sistem tubuh). Penelitian ini tidak disyaratkan mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk mengetahui mekanisme kerja yang lebih rinci dari calon obat dan dapat dilakukan kemudian.
4.Tahap Toksisitas Lebih Lanjut
Pengujian ini untuk mengetahui efek toksit pada hewan setelah pemberian berulang (toksisitas sub akut dan kronik). Dalam tahap ini juga dikerjakan beberapa uji toksisitas khusus jika diperlukan yaitu teratogenitas, karsinogenesis atau tolisistas terhadap fungsi reproduksi dan fertilitas.
5.Tahap Pengembangan Sediaan (Formulasi)
Dalam tahap ini dikembangan bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu, keamanan dan estetika untuk pemakaian pada manusia.
6.Tahap Pengujian Klinik pada Manusia
Pengujian klinik pada manusia baru dapat dilakukan jika syarat keamanan diperoleh dari pengujian toksisitas pada hewan serta syarat mutu sediaan memungkinkan untuk pemakaian pada manusia. Pengujian klinik calon obat pada manusia terbagi dalam beberapa fase yaitu :
Fase I :
Dilakukan pada sukarela sehat untuk melihat efek farmakologi, sifat farmakokinetik, serta hubungan dosis dan efek obat.
Fase II :
Dilakukan pada kelompok pasien secara terbatas untuk melihat kemungkinan penyembuhan dan pencegahan penyakit. Fase ini rancangan penelitian masih dilakukan tanpa kelompok pembanding (kontrol), sehingga belum ada kepastian bukti manfaat terapetik.
Fase III :
Dilakukan pada pasien dengan rancangan uji klinik yan gmemadai, memakai kontrol sehingga didapat kepastian ada tidaknya manfaat terapetik.
Fase IV :
Pemantauan pasca pemasaran untuk melihat kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak terkendali pada waktu pengujian pra klinik atauklinik fase 1 , 2 , 3.
Proses pengujian di atas memakan waktu (sekitar 3 – 4 tahun) dan memerlukan banyak biaya, energi, serta keahlian, maka untuk pengujian calon obat dimungkinkan apabila uji toksikologi (akut atau kronik) telah dinyatakan aman pada manusia., langsung dilakukan uji klinik. Hal ini dengan pengertian bahwa yang diperlukan adalah bukti kemanfaatan untuk bahan-bahan yang memang sudah dipakai secara empiris.
0 komentar:
Posting Komentar